Bisnis Metro,TANGERANG SELATAN– Kuasa Hukum Yayasan Syarif Hidayatullah (YSH), Oce Said, menilai langkah Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap aset Yayasan—Gedung Lembaga Pendidikan Madrasah Pembangunan (MP) di Ciputat—berjalan non-prosedural.
Oce menyebut aksi pengambilalihan kunci kantor, penggantian seluruh kunci, hingga pemadaman serta penghapusan rekaman CCTV dilakukan pada malam hari oleh tim yang diduga berasal dari rektorat.
“Pada Minggu, 23 November 2025, sekitar pukul 23.00 (malam) serombongan bus dan dua minibus dari Tim Rektorat UIN Jakarta berhasil merampas Kunci Kantor Madrasah Pembangunan (MP) dan beberapa kunci kendaraan operasional MP,” ujarnya.
Dia menerangkan ada sekitar 8-15 orang pada malam peristiwa perampasan aset gedung tersebut yang langsung masuk ke parkiran. Mereka saat itu menemui sekuriti dan memaksa masuk.
Menurutnya, untuk menutupi perbuatannya agar tidak ada rekaman CCTV, sekelompok orang tersebut juga memadamkan dan menghapus rekaman CCTV yang berada pada ruang server IT. Setelah kunci diambil, tim masuk ke sejumlah ruangan dan mengganti seluruh kunci kantor. Pada malam kejadian, petugas keamanan tidak memiliki akses komunikasi kepada pengurus Yayasan pada malam hari lantaran sudah istirahat.
Keesokan paginya, kata dia, Senin (24/11) sekitar pukul 05.30 WIB, sekelompok orang dari pihak rektorat diketahui mulai berkantor dan berjaga di lingkungan MP sehingga pengurus YSH yang hendak melaksanakan tugas rutin tidak diperkenankan masuk.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pun diketahui datang ke ke lokasi dan meninjau sejumlah ruangan yang ada di gedung madrasah pembangunan tersebut.
Selain itu kata Oce, tersebar kabar adanya permintaan paksa kepada guru dan tenaga kependidikan (tendik) untuk mengambil SK Kepegawaian di UIN Jakarta dan menandatangani pakta integritas yang, menurutnya, “melarang guru/tendik berkomunikasi dengan pengurus YSH.”
Oce mempertanyakan keabsahan tindakan perampasan paksa atas aset yayasan yang dikaitkan dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1543 Tahun 2025.
Ketegangan antara rektorat dan yayasan berawal dari isu sewa lahan yang pihak rektorat sebagai penguasa lahan negara tiba-tiba mennaikan harga sewa hingga empat kali lipat—dari sekitar Rp1 miliar per tahun menjadi sekitar Rp4 miliar, rentetan peristiwa yang terjadi setelah kenaikan harga sewa tersebut yaitu peristiwa penyegelan pada April tahun yang sama.
Dari pertemuan tersebut, lanjutnya, sempat ada permintaan pembukaan segel. Namun dinamika berkembang ke wacana integrasi.
“Bukan lagi masalah sewa-menyewa. Tapi adanya integrasi,” kata Oce.
Oce menjelaskan pihaknya dalam konteks integrasi antara kedua lembaga tersebut tengah bernegosiasi dan mencoba berkomunikasi dengan berbagai pihak serta menilai sejumlah aspek hukum dan tata kelola yang perlu dikaji mendalam lantaran menyangkut relasi lembaga swasta (yayasan/privat) dan lembaga publik (perguruan tinggi negeri).
Namun, berkaitan dengan peristiwa perampasan, Oce menilai tindakan penyegelan, pergantian seluruh kunci ruang kantor, serta pengambilan kunci kendaraan operasional di lingkungan Madrasah Pembangunan (MP) sebagai tindakan non-prosedural dan melawan hukum.
Ia menegaskan dasar yang diklaim sebagai rujukan—Keputusan Menteri Agama (KMA)—tidak memuat perintah eksekusi pengambilalihan aset.
“Perbuatan yang baru-baru ini dilakukan itu adalah perbuatan melawan hukum, karena tidak ada dasar, selain KMA, untuk melakukan penyegelan,” ujar Oce.
Ia menambahkan, perubahan kunci dan pengambilan kunci mobil yang merupakan aset yayasan merupakan cacat prosedur, dan itu menurutnya sudah dapat diklasifikasikan sebagai dugaan perbuatan melawan hukum.
Oce juga menyebut ada indikasi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparatur sipil negara dalam pelaksanaan di lapangan.
“Indikasi terdapat adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, yang mana oknum tersebut telah melakukan tindakan secara tidak manusiawi, dengan cara mengusir pihak yayasan secara paksa,” ucapnya.
Menurutnya, substansi KMA tidak memerintahkan langkah represif maupun eksekusi penguasaan.
“Sebenarnya perintahnya sendiri mau dibuat eksekusi atau tidak? Tidak ada. Selain perintahnya cuma tiga: melakukan inventarisasi, dilakukan review oleh pejabat Kemenag, dan yang ketiga setelah direview, baru ada namanya berita acara serah terima,” jelasnya.
“Kalau sudah ada berita acara serah terima, maka mungkin integrasi yang dilakukan bisa sah dan legal.”
Ia menilai kerangka KMA perlu diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan lain. Dia mengatakan produk hukum KMA sangat bertentangan dengan peraturan pemerintahan, khususnya undang-undang yayasan, undang-undang ketenagakerjaan, dan penyelenggaraan pendidikan,.
Di sisi lain, YSH saat ini menempuh langkah administratif.
“Saat ini kami masih melakukan upaya banding administratif. Kami masih tetap mengupayakan musyawarah mufakat,” ujarnya.
Meski adanya konflik ini, Ia menegaskan layanan pendidikan tetap berjalan. Pihaknya menyayangkan adanya tindakan represif yang dilakukan Rektorat, bukan hanya aktifitas pengurus yayasan yang terganggu, tapi keberlangsungan aktifitas lembaga pendidikan yang melibatkan 300 tenaga pengajar dan sekitar 3000 peserta didik dapat terancam.
“Mereka masih mengajar. Pengajar di situ ada sekitar tiga ratusan. Tiga ribu siswa, kurang lebih. Tetap kita punya kewajiban. Kita menyiapkan kewajiban kepada mereka.”
Terkait operasional, Oce menyebut sebagian instrumen pendukung masih dapat digunakan, meski ada keterbatasan akses pada infrastruktur tertentu.
“Untungnya ada beberapa yang masih bisa diselamatkan, akses perbankan alhamdulillah masih diselamatkan. Cuma seperti server CCTV dan mungkin beberapa dokumen penting tidak bisa kita akses lagi,” tutupnya.(Sg)***






