RUU KEJAKSAAN: Potensi Penyalagunaan Kekuasaan Politik Tanpa Adanya Keseimbangan

Oleh : Irhas Abdul Hadi

Ketua Umum HMI Cabang Ciputat

Bisnismetro.id, TANGERANG – Salah satu problematika kemanusiaan ialah pada sektor upaya pembagian kerja, yang demikian manusia dengan tiga komponennya tadi bukanlah kemustahilan apabila mereka dalam realitanya saling sikut menyikut dalam upaya pembagian kerja serta konflik kepentingan baik antar individu maupun kelompok, hal tersebut sebagaimana pernyataan yang pernah diutarakan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia ialah (homo homini lupus) yang bermakna manusia ialah serigala bagi manusia yang lain, maka dari itu dalam sosial masyarakat dibutuhkan pengatur yang dinamakan dengan Negara yang dalam istilah Thomas Hobbes dinamakan “Leviathan” yang bertugas mengakomodir setiap kepentingan serta mendistribusikan kekuatan (bargaining power) bagi setiap individu masyarakat.

Seorang filsuf Inggris pertama kali yang bernama John Lock mengemukakan tentang trias politica dan kemudian dikembangkan oleh filsuf Prancis Charles-Louis de Secondat, Baron de Montesquieu. konsep politik yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, menjaga demokrasi, dan melindungi hak-hak asasi warga negara. Hal ini menjadi konsep yang telah diakui sehingga adanya pengawasan antar lembaga sehingga terbangunnya suasana keseimbangan dan tidak adanya kekuasaan absolut yang semena-mena digunakan untuk kepentingan pribadi.

Indonesia baru-baru ini memiliki problem dalam pembagian kekuasaan yang mana dalam Undang-Undang Kejaksaan No. 11 Tahun 2021 yang memberikan asas dominus litis kepada Kejaksaan yang tentu menuai kontroversi di kalangan masyarakat dan pengamat hukum. Bagaimana tidak Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Jaksa untuk mengendalikan proses penyelidikan dan penyidikan, termasuk menentukan kelanjutan atau penghentian perkara, dinilai berisiko menciptakan ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia. Kejaksaan dalam hal ini memiliki otoritas kewenangan yang besar dan justru akan memperlemah POLRI dan lembaga hukum lainnya yang memiliki fungsi pengawasan juga. Tidak menutup kemungkinan adanya nirindependensi dari jaksa yang bertugas sehingga kewenangan yang dibuat tidaklah adil dan melahirkan fungsi hukum yang ideal, juga potensi terjadi ialah bangku jaksa agung yang kelak akan diperebutkan melihat otoritas dan kewenangan yang besar dalam negara.

Bagaimana upaya mewujudkan hukum yang adil dan transparan? Untuk mencapai tujuan tersebut, reformasi dalam sistem peradilan sangat diperlukan. Peningkatan kompetensi aparat hukum, penerapan teknologi informasi untuk mendukung keterbukaan data, serta evaluasi berkala terhadap proses hukum adalah beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan. Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus berkomitmen untuk menciptakan sistem yang tidak hanya efektif, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Juga perlunya setiap aparatur penegak hukum berkerja sesuai tupoksinya masing-masing agar adanya check and balance. Perlu nya Distribution of Powers antara Polisi dan Kejaksaan, termasuk bentuk tugas dan fungsi kewenangan pro justitia, sehingga adanya keadilan dan transparan.

Secara keseluruhan, undang -undang transparan dan adil adalah fondasi utama negara yang demokratis dan beradab. Dengan memperkuat kedua prinsip ini, tidak hanya cadangan keadilan, tetapi juga membangun kepercayaan yang kuat antara masyarakat dan sistem hukum untuk menciptakan stabilitas dan kemajuan timbal balik.

Penulis sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat merasa perlunya menyampaikan hal ini agar adanya pertimbangan ulang terkait revisi UU Kejaksaan tersebut agar tidak adanya ego sektoral yang merasa paling berkuasa dalam penentuan kebijakan. Hadirnya revisi UU bukan untuk menimbulkan problem baru tapi untuk kepastian hukum dan tindak lanjut dari keadilan itu sendiri.(SG)***