Mengoptimalkan Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas: Strategi Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Global

Oleh: I Bayu Trikuncoro

(Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Doktor Ilmu Pemerintahan Dalam Negri IPDN)

Urgensi Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas

Bisnismetro.id, JAKARTA – Tuna sirip biru (Thunnus thynnus) merupakan salah satu sumber daya laut dengan nilai ekonomi yang tinggi, dikenal sebagai “emas biru” di sektor perikanan global. Potensi besar tuna sirip biru terletak di perairan laut lepas Samudra Hindia dan Atlantik, yang berada dalam cakupan pengelolaan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Meskipun kuota tangkap global mencapai 17.000 ton pada 2023, kontribusi Indonesia masih berada di angka stagnan sebesar 1.336 ton jauh di bawah Jepang (6.226 ton) dan Australia (5.887 ton) (CCSBT, 2023). Situasi ini mencerminkan kurang optimalnya eksploitasi tuna sirip biru oleh Indonesia, padahal eksploitasi yang baik berpotensi menjadi penggerak utama sektor perikanan laut lepas di masa depan.

Bisa dikatakan bahwa keunggulan Jepang dan Australia dalam eksploitasi tersebut terletak pada modernisasi armada perikanan dan pengelolaan berbasis data. Jepang, misalnya, memiliki armada penangkapan yang hampir seluruhnya dilengkapi teknologi sonar dan sistem pendingin canggih, memastikan hasil tangkapan mencapai pasar internasional dalam kondisi premium (FAO, 2023). Australia, di sisi lain, menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dengan regulasi tangkap ketat yang mendukung keberlanjutan stok. Indonesia, dengan posisi geografis yang strategis, memiliki peluang besar untuk meningkatkan kontribusinya di sektor ini. Namun, kurangnya infrastruktur modern, lemahnya daya saing produk perikanan, dan regulasi yang belum mendukung menjadi hambatan utama.

Permasalahan Eksploitasi Tuna Sirip Biru Indonesia

1. Teknologi Penangkapan Tradisional

Armada perikanan Indonesia saat ini masih didominasi oleh kapal kecil dengan teknologi konvensional, yang mengurangi efisiensi tangkapan dan kualitas hasil. Kusdiantoro et al. (2019) mengemukakan bahwa hanya 10% armada perikanan Indonesia yang dilengkapi teknologi modern seperti sonar dan sistem pendingin. Akibatnya, tuna yang ditangkap sering kali tidak memenuhi standar sashimi-grade yang menjadi syarat utama pasar Jepang. Sebagai perbandingan, armada Jepang menggunakan teknologi pelacakan berbasis satelit untuk mengoptimalkan eksploitasi sumber daya laut lepas. Ketertinggalan teknologi ini menyebabkan ketergantungan Indonesia pada kapal asing untuk memenuhi kuota ekspor tuna sirip biru, yang mengurangi nilai tambah bagi industri nasional.

2. Daya Saing dan Infrastruktur Pasca-Tangkap yang rendah

Rendahnya kualitas hasil tangkapan menyebabkan tuna Indonesia sulit bersaing di pasar global. Pasar utama seperti Jepang mengutamakan sashimi-grade tuna, yang memerlukan penanganan pasca-tangkap dengan standar tinggi. Sebagai contoh, Jepang dan Australia mampu mengelola tuna sirip biru sebagai produk premium melalui fasilitas pemrosesan modern yang dekat dengan wilayah tangkapan (WWF, 2023). Indonesia, di sisi lain, menghadapi tantangan logistik dan infrastruktur yang memengaruhi kualitas produk hingga tiba di pasar internasional.

3. Regulasi yang Kurang Mendukung

Regulasi perikanan Indonesia masih terfokus pada pengelolaan wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia, sementara strategi untuk memanfaatkan wilayah laut lepas belum terkoordinasi dengan baik. Keterbatasan diplomasi maritim juga mengurangi kemampuan Indonesia dalam memperoleh kuota yang lebih besar di CCSBT. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis data dalam menentukan kebijakan tangkap, seperti yang dilakukan Australia melalui penghitungan stok berbasis sains.

Strategi Optimalisasi Eksploitasi Tuna Sirip Biru

1. Modernisasi Teknologi dan Armada

Indonesia perlu melakukan modernisasi armada perikanan dengan fokus pada teknologi sonar, sistem pendingin, dan pelacakan berbasis satelit. Pemerintah, melalui asosiasi perikanan dan badan usaha, harus mendorong investasi pada kapal industri berskala besar yang mampu bersaing dengan Jepang dan Australia. Penyediaan insentif bagi pengusaha perikanan untuk mengadopsi teknologi ini dapat mempercepat transformasi sektor perikanan laut lepas. Dalam teori pembatasan pertumbuhan yang diutarakan Meadows et al (2004), sistem yang terfragmentasi seperti ini mengurangi kapasitas adaptasi terhadap tantangan lingkungan dan sosial, karena sumber daya yang seharusnya terkoordinasi justru digunakan secara tidak efisien.

2. Peningkatan Daya Saing dan Infrastruktur Pasca-Tangkap

Untuk mencapai standar global, pemerintah harus memperkuat rantai pasok melalui pembangunan fasilitas pengolahan modern di dekat wilayah tangkapan tuna sirip biru, seperti di Samudra Hindia. Penerapan sistem traceability juga diperlukan untuk memastikan produk Indonesia memenuhi standar keberlanjutan yang dipersyaratkan oleh pasar premium, termasuk Jepang dan Uni Eropa. Langkah ini tidak hanya meningkatkan daya saing tetapi juga memperkuat branding Indonesia sebagai Indonesian Blue Water Fisheries.

3. Diplomasi Maritim dan Regulasi Progresif

Diplomasi maritim menjadi kunci untuk meningkatkan kuota tangkap Indonesia di CCSBT. Pemerintah harus memperkuat kerjasama internasional dengan negara-negara anggota CCSBT untuk merevisi pembagian kuota secara lebih adil. Selain itu, regulasi yurisdiksi nasional Indonesia perlu diarahkan untuk mendorong eksploitasi sumber daya di laut lepas, termasuk pengaturan kuota berbasis data stok ikan dan pemberian izin khusus bagi kapal modern.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan kontribusinya dalam eksploitasi tuna sirip biru di laut lepas, namun tantangan berupa keterbatasan teknologi, rendahnya daya saing dan Infrastruktur Pasca-Tangkap, serta regulasi yang belum mendukung harus segera diatasi. Untuk mencapai target masuk dalam tiga besar, dengan kontribusi minimal 5.000 ton per tahun, diperlukan transformasi menyeluruh di sektor perikanan.

Rekomendasi strategis mencakup:

1. Modernisasi Manajemen Perikanan: Mengadopsi teknologi modern dalam penangkapan, pengolahan, dan distribusi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas hasil tangkapan.

2. Peningkatan Daya Saing Global: Memperkuat infrastruktur pasca-tangkap dan sertifikasi keberlanjutan untuk memenuhi standar pasar internasional.

3. Diplomasi Maritim yang Progresif: Mengamankan kuota yang lebih besar di CCSBT melalui pendekatan berbasis data dan penguatan posisi Indonesia sebagai pemain utama di laut lepas.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat melanjutkan visinya sebagai Poros Maritim Dunia, di mana Indonesian Blue Water Fisheries menjadi tulang punggung ekonomi maritim yang berkelanjutan. Perlu digaris bawahi pula bahwa tuna sirip biru bukan potensial sebagai sumber daya ekonomi, namun juga dapat dimaknai sebagai simbol komitmen Indonesia terhadap pengelolaan laut global yang bertanggung jawab.(Red)***