Hanung: Gowok Kamasutra Jawa Bukan Film Seks

Bisnismetro.id, JAKARTA – Sutradara Hanung Bramantyo menegaskan bahwa film terbarunya Gowok: Kamasutra Jawa bukanlah film tentang seks semata, melainkan karya yang sarat nilai edukasi dan budaya. Lewat film ini, Hanung ingin membuka ruang diskusi sehat mengenai pendidikan seksual, terutama bagi remaja, dengan pendekatan kultural yang berakar pada tradisi Jawa.

Film ini terinspirasi dari tradisi kuno masyarakat Jawa tentang “gowok”, yaitu perempuan dewasa yang dipercaya membimbing calon pengantin pria dalam memahami seni mencintai dan menghormati pasangan. Hanung menilai, tradisi tersebut menyimpan nilai luhur yang bisa menjadi pintu masuk untuk membicarakan seksualitas secara sehat dan terbuka.

“Selama ini kita menganggap seksualitas itu hal yang kotor, padahal ini bagian dari kemanusiaan. Film ini ingin membuka ruang diskusi sehat, terutama di dalam keluarga,” ujar Hanung dalam sesi diskusi film di XXI Plaza Senayan, Kamis (8/5/2025).

Dengan durasi lebih dari dua jam, Gowok: Kamasutra Jawa menampilkan kisah Nyai Santi (diperankan oleh Lola Amaria), seorang gowok legendaris yang mengasuh Ratri (Raihaanun), anak angkatnya, untuk mewarisi pengetahuan tentang tubuh dan cinta dalam pernikahan. Ketegangan muncul ketika Ratri jatuh cinta pada bangsawan muda Kamanjaya (Reza Rahadian), yang kemudian menghadapkan Ratri pada dilema saat putra Kamanjaya menjadi muridnya.

Hanung menyampaikan bahwa meskipun tokoh utama dalam film ini adalah perempuan, pesan yang dibawa justru ditujukan untuk laki-laki. “Film ini justru untuk laki-laki. Supaya mereka belajar tidak hanya memahami tubuh perempuan, tapi juga menghormatinya,” tegasnya.

Kehadiran film ini menimbulkan pro dan kontra di media sosial. Banyak warganet mengkritik tema seksualitas yang dianggap tabu ditampilkan dalam ruang publik. Namun Hanung menanggapi hal itu sebagai cermin dari minimnya edukasi seksual di masyarakat.

“Saya membuat film ini karena banyak orang masih menganggap pembahasan soal seksualitas sebagai hal yang tabu. Padahal, itu justru membuat manusia terasing dari kebutuhan biologisnya sendiri,” ungkapnya.

Menurutnya, pendidikan seksual bukan sekadar tentang aktivitas seksual, tetapi tentang pemahaman akan tubuh, batasan pribadi, dan tanggung jawab. Hanung juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual sejak masa pubertas.

Tokoh Nyai Gowok dalam film ini dimaksudkan sebagai simbol pendidikan yang membimbing laki-laki muda untuk menjadi pribadi yang menghargai dan melindungi perempuan. Nilai ini, kata Hanung, sejalan dengan ajaran moral dan agama, seperti yang tercantum dalam Surah An-Nisa ayat 34.

“Ini adalah karya yang mengajak kita memahami pentingnya laki-laki menghormati perempuan, bahkan sampai ke ruang privasinya,” ucap Hanung.

Film ini telah tayang perdana secara internasional di ajang International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025 dan mendapat sambutan positif. Di Indonesia, film ini akan tayang di bioskop mulai 5 Juni 2025 dalam dua versi: 17+ dan 21+. Versi 21+ merupakan versi orisinal tanpa pemotongan, sedangkan versi 17+ disesuaikan dengan regulasi penayangan untuk remaja.

Produser Raam Punjabi dari MVP Pictures menyebut Gowok: Kamasutra Jawa sebagai terobosan penting dalam dunia perfilman nasional. “Indonesia butuh narasi berbeda, bukan cuma horor atau romansa. Lewat Gowok, kita mengangkat warisan budaya yang kaya dan memberi edukasi,” katanya.

Dengan pendekatan budaya, sosial, dan religius, film ini diharapkan mampu membuka ruang dialog publik mengenai pentingnya pendidikan seksual yang bermartabat, serta memperkuat peran orang tua dalam mendampingi anak memahami tubuh dan relasi secara sehat. (Yd)***