Bisnismetro.id, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergelincir tajam pada perdagangan hari ini, Selasa (8/4), dengan penurunan sebesar 598,56 poin atau 9,194 persen.
IHSG dibuka melemah di posisi 5.912,06 dan terus tertekan hingga memicu penerapan penghentian sementara perdagangan (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada sesi pagi.
Kebijakan trading halt diberlakukan setelah IHSG melewati ambang batas penurunan harian yang telah ditetapkan oleh BEI, guna memberikan ruang bagi pelaku pasar untuk merespons dinamika pasar secara lebih tenang dan menghindari kepanikan yang lebih dalam.
Sebelum gejolak hari ini terjadi, BEI telah mengumumkan penyesuaian kebijakan batas auto rejection menjadi asimetris. Dalam skema terbaru ini, batas auto rejection bawah (ARB) ditetapkan maksimal 159 poin untuk semua fraksi harga, sementara auto rejection atas (ARA) masih mengacu pada ketentuan sebelumnya.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya BEI menjaga stabilitas pasar di tengah volatilitas tinggi akibat berbagai sentimen global.
Analis menilai bahwa penurunan signifikan IHSG hari ini dipicu oleh sentimen negatif dari kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat. Kebijakan tersebut menargetkan beberapa komoditas strategis dari negara mitra dagang utama, termasuk Asia Tenggara.
“Pengenaan tarif baru ini meningkatkan kekhawatiran investor terhadap ketegangan perdagangan global yang kembali memanas. Aksi jual secara masif menjadi respons wajar atas ketidakpastian arah kebijakan ekonomi global,” ujar Reza Fahlevi, analis pasar dari PT Inovasi Investama Sekuritas.
Dari seluruh sektor, sektor teknologi mencatatkan pelemahan terdalam dengan penurunan indeks mencapai 10,384 persen. Saham-saham unggulan berbasis digital dan teknologi finansial mengalami tekanan jual yang signifikan, seiring kekhawatiran investor terhadap eksposur global dan valuasi tinggi sektor ini.
Sektor-sektor lain yang turut tertekan antara lain sektor industri dasar, properti, dan keuangan, yang masing-masing mencatat penurunan antara 6—9 persen.
Otoritas pasar dan pelaku industri keuangan mengimbau investor untuk tidak panik dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip investasi jangka panjang. Di tengah gejolak ini, fundamental ekonomi domestik Indonesia dinilai masih cukup kuat dengan stabilitas inflasi, surplus neraca dagang, dan cadangan devisa yang memadai.
“Volatilitas pasar adalah hal yang wajar dalam siklus ekonomi global. Investor perlu tetap waspada, tetapi juga rasional dalam menyikapi koreksi ini,” tambah Reza.(Ar)***