Indonesia Hadapi Risiko Tinggi Dalam Kejar Target Penerimaan Pajak 2023

Berita Utama, Ekonomi237 Dilihat

Bisnismetro.id, JAKARTA – Berbeda dengan tahun 2022, Indonesia akan menghadapi risiko yang cukup tinggi dalam mengejar target penerimaan pajak tahun 2023.

“Perlu kita sadari, penerimaan pajak di tahun ini bukanlah hal yang wajar atau extraordinary. Untuk mencapai titik yang sama di tahun depan dibutuhkan extra effort yang besar,” kata Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar dalam keterangan tertulis, Kamis (22/12).

Fajry menjelaskan tahun depan akan ada pelemahan kondisi ekonomi, harga komoditas yang tak akan setinggi tahun ini, dan pelemahan demand dari pasar global (pelemahan pasar ekspor). Menjaga pertumbuhan pajak yang untuk tetap positif di tahun 2023 adalah tugas yang berat.

Namun demikian, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak tahun 2023 secara moderat. Target penerimaan pajak dalam Perpres 130 tahun 2022 sebesar Rp1.718 triliun atau lebih rendah dari proyeksi realisasi penerimaan pajak tahun 2022 yakni sebesar Rp1.823,6 triliun.

“Kami menilai target tersebut realistis dan membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan antisipasi untuk mencegah terjadinya shortfall penerimaan pajak. Artinya, pengelolaan anggaran negara telah dilakukan dengan prudent,” ujar Fajry.

Fajry juga melihat bahwa tugas APBN di tahun 2023 cukup berat, di saat adanya risiko penerimaan yang cukup tinggi APBN harus menjaga defisit anggaran tetap di bawah 3% serta memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menjawab tantangan ekonomi di tahun depan.

Pemerintah harus bergegas melakukan antisipasi dan jika diperlukan dapat mengambil extraordinary measure untuk menjaga pertumbuhan pajak tetap positif di tahun 2023. Extra effort yang dilakukan oleh DJP akan menjadi kunci kinerja penerimaan pajak di tahun 2023. DJP juga harus mengoptimalkan reformasi perpajakan melalui UU HPP.

Dalam evaluasi implementasi UU HPP, Fajry menilai UU HPP mampu mendorong penerimaan pajak tahun 2022. Namun, masih banyak “pekerjaan rumah” dalam implementasi UU HPP. Salah satunya adalah adanya potensi yang belum digali dan sulit untuk diukur, terutama dari kebijakan yang bersifat administratif. Mengukur dampak dari kebijakan tersebut menjadi sulit karena akan sangat bergantung pada praktik/kondisi di lapangan.

“Belum adanya aturan turunan dari UU HPP menjadi salah satu penyebab belum optimalnya penggalian potensi penerimaan pajak melalui UU HPP. Namun, kami akui bahwa merumuskan aturan turunan UU HPP bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu. Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan aturan turunan dari UU HPP. Namun demikian, sebagian besar ketentuan dalam PP tersebut masih membutuhkan aturan setingkat Menteri (Peraturan Menteri Keuangan) dan teknis terlebih untuk dapat menggali potensi penerimaanya,” jelas Fajry.

Untuk menjawab tantangan penerimaan pajak tahun 2023, pemerintah sudah seharusnya lebih cepat menerbitkan aturan turunan UU HPP, apalagi mengingat aturan turunan UU HPP sendiri sudah di luar timeline semula. “Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak,” tutup Fajry.(***)